Pernahkah Anda bertanya-tanya apa yang membuat beberapa produk digital berhasil sementara yang lain tidak?
Apa rahasianya agar memiliki aplikasi yang viral?
Kami yakin Anda juga penasaran.
Tentu saja, ada banyak faktor yang menentukan kesuksesan bisnis produk digital Anda. Kami akan mencoba menjelaskannya dari sudut pandang desain produk digital. Desain adalah pola pikir. Itulah cara para desainer memandang dunia dan lingkungan sehari-hari. Inovasi berasal dari pola pikir ini, dan dapat digambarkan sebagai ide segar di kepala yang dikombinasikan dengan implementasi nyata.
Terlepas dari segi disiplin desain, ada satu faktor umum yang menjadi inti dari semuanya. Ini tentang kita. Tentang manusia. Tidak peduli apakah itu desain industri, grafis atau digital, semuanya didorong oleh misi yang sama yakni untuk membuat hidup kita lebih mudah.
Hanya dengan cara tersebut Anda dapat memberi added values jangka panjang pada pelanggan Anda. Tim Desain kami mengerti betul pendekatan ini dan mengimplementasikannya dengan sepenuh hati.
Design Thinking = Business Thinking
Kita mungkin memiliki teknologi dan sasaran bisnis yang luar biasa, dan semua hal itu selalu dimulai dari manusia. Desainer harus memiliki kemampuan untuk mengamati dan mendengarkan kebutuhan orang dengan cermat. Inilah saatnya observasi personal dan user research dimainkan.
User research sebenarnya adalah cara desainer memposisikan diri sebagai pengguna dan mengikuti jejak mereka merasakan semua halangan dan rintangan sepanjang jalan. Ini adalah cara untuk membuat desain produk digital berdasarkan empati —kemampuan untuk menempatkan diri Anda di tempat orang lain, untuk merasakan apa yang mereka rasakan dan melihat apa yang mereka lihat. Kemampuan berharga ini memungkinkan para desainer untuk menciptakan hal-hal yang terlihat indah dan berfungsi baik, tetapi juga dapat melakukan apa yang dibutuhkan oleh pengguna tertentu. Sehingga tidak salah apabila salah satu ciri paling penting dari seorang desainer yang baik adalah empati.
Peran tim desainer produk digital adalah untuk menyelesaikan masalah. Ini yang membedakan mereka dari artisan - mereka selalu bekerja dalam batasan-batasan tertentu. Seniman biasanya tidak.
Dalam memulai project apapun, desainer menciptakan produk digital bukan untuk ekspresi diri, bukan untuk unjuk kreativitas pada dunia, juga bukan untuk menciptakan hal baru dan revolusioner yang akan merubah dunia. Mereka bekerja untuk memecahkan masalah pengguna, memenuhi keinginan mereka dan mencapai tujuan bisnis.
Pasar digital adalah pasar dengan produk dan perkembangan yang tidak terbatas, terlepas dari jenis platformnya. Beberapa dari mereka lebih sukses dan mendapatkan popularitas lebih dari yang lain. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa sebagian besar produk digital yang sukses, telah menyesuaikan diri dengan kebutuhan pengguna. Melakukan riset dengan maksimal saat fase persiapan meminimalisir risiko produk akhir yang mengecewakan.
Jika Anda melompati tahap ini dan hanya fokus pada desain UI, dalam banyak kasus, produk digital akan memiliki tampilan yang indah namun menawarkan user experiences yang biasa-biasa saja.
Inovasi bukan hanya tentang tampilan yang cantik. Faktanya, pengguna tidak akan datang dua kali ke produk digital Anda jika produk itu gagal di kesan pertama. Layer-layer visual bisa menarik perhatian pengguna di pandangan pertama, namun belum tentu berpengaruh dalam meningkatkan loyalitas pengguna.
Pengunjung atau pelanggan yang kembali (returning visitors) lebih berharga daripada pengguna baru. Selain itu, dari segi user acquisition jauh lebih mahal untuk menarik pengguna baru dibandingkan mempertahankan yang sudah ada.
Bisnis yang sukses menghasilkan profit dengan mengintegrasikan design thinking ke dalam proses mereka.
Desain produk digital yang hebat adalah desain yang sederhana, indah, dan mudah digunakan. Selain dari karakteristik tersebut, bagaimana kita bisa tahu apakah desain produk digital itu "bagus"?
Selain itu, bagaimana bisnis dapat mengetahui apakah investasi waktu dan uang yang akan mereka beri ke dalam desain layak dilakukan?
Buktinya ada dalam data.
Bisnis perlahan-lahan akan mulai menyadari bahwa desain produk digital dapat digunakan sebagai pembeda untuk merespons tren dan perilaku konsumen yang terus berubah. Berkali-kali, perusahaan yang masuk ke dalam list Fortune 500 seperti Apple, Microsoft, Disney, dan IBM telah menunjukkan nilai intrinsik dari design thinking sebagai keunggulan kompetitif yang berdampak signifikan pada laba dan mendorong pertumbuhan bisnis. Mereka menyadari bahwa inovasi desain terjadi di pertemuan antara keinginan pelanggan, kelayakan di tingkat bisnis, dan kelayakan untuk teknologi.
Design thinking —pendekatan desain produk yang perlahan-lahan berkembang sejak tahun 1950-an— mengintegrasikan ketiganya. Design thinking adalah business thinking. Pada akhirnya, keduanya dibutuhkan untuk membuat produk digital yang memberi ROI yang tinggi. Investasi yang perlu Anda lakukan adalah waktu dan dana yang dicurahkan ke dalam desain dan proses pengembangan produk digital. Karena pada akhirnya, bukan Anda yang memutuskan apakah produk digital itu berhasil, bukan pula desainer atau stakeholders lainnya; tapi pengguna. Maka, empati adalah strategi terbaik.
Apa Itu Design Thinking?
Design thinking adalah pendekatan kreatif untuk pemecahan masalah yang diakui sebagai diskursus yang berharga untuk inovasi produk yang berpusat pada manusia. Design thinking juga disebut sebagai metodologi, budaya, dan filsafat.
Design thinking, pada dasarnya, percaya bahwa desain harus berorientasi pada tujuan dan sasaran bisnis, bukan hanya estetika. Design thinking lahir dari kurangnya kemampuan perusahaan besar untuk menciptakan produk dan layanan baru yang kreatif, yang melayani kebutuhan pelanggan mereka yang tidak terpenuhi. Pada intinya, metodologi muncul dari dan berputar di sekitar kebutuhan pelanggan.
Proses design thinking mempertimbangkan latar belakang etnografis, perilaku, pemikiran, motivasi, kebiasaan, dan kebutuhan orang. Bayangkan seseorang menjalani kehidupan sehari-hari serta semua interaksinya dengan berbagai produk dan layanan.
Design thinking menggeser fokus bisnis-sentris pada setiap solusi development (menciptakan produk berdasarkan asumsi dan berharap itu akan sukses di pasaran), ke solusi yang berorientasi pada pelanggan (menjelajahi fenomena budaya, mengamati bagaimana orang-orang berperilaku dan berpikir, mendapatkan wawasan tentang apa yang mereka butuhkan, dan merancang produk di seputar itu). Design thinking berasas pada pemahaman konteks dan keterlibatan dari orang-orang untuk menentukan masalah apa yang harus dipecahkan, metrik apa saja yang mendorong kesuksesan, dan potensi bisnis apa yang akan muncul dari penyelesaian masalah. Berlawanan dengan "Brainstorming", design thinking mempromosikan konsep "Pain-storming", untuk memahami sepenuhnya pain point pengguna.
Tahapan design thinking
- Berempati dengan pengguna Anda
- Tentukan kebutuhan pengguna Anda, masalah mereka, dan pengamatan Anda
- Beri gagasan dengan menantang asumsi dan ciptakan ide untuk solusi yang inovatif
- Buat prototipe untuk mulai menciptakan solusi
- Uji solusi tersebut
Menurut Tim Brown, CEO IDEO, "design thinking adalah pendekatan yang berpusat pada manusia untuk menciptakan inovasi, yang diambil dari toolkit desainer untuk mengintegrasikan kebutuhan orang-orang, kemungkinan teknologi, dan persyaratan untuk kesuksesan sebuah bisnis." Desainer memiliki ratusan tools dan cara untuk membaca masalah, melakukan penelitian, mencari solusi, dan mengeksplorasi use cases untuk menemukan cara terbaik untuk berkembang.
Sementara desainer mempelajari dan melatih diri untuk menciptakan values bagi produk dan bagi pelanggan, metodologi design thinking dapat diimplementasikan pada apa saja, dari development product, keuangan hingga layanan pelanggan. Menurut Charlie Cannon, Chief Design Officer di Epic Decade, design thinking adalah "penerapan teknik desain, metode desain, dan kerangka desain dalam pikiran, bukan untuk memproduksi artefak atau objek baru, tetapi untuk pengembangan model baru dari business value, potensi bisnis baru [...] dari design of things hingga design of ideas.”
Contohnya, Intuit, yang dikenal dengan produk TurboTax dan QuickBooks, telah menghabiskan lebih dari satu dekade untuk menyempurnakan proses desainnya sendiri. Menurut Fast Company, “perusahaan menyimpulkan bahwa design thinking bukan tentang kedudukan seseorang; ini tentang manusia, minat mereka untuk berkolaborasi, menjadi kreatif, berpartisipasi, berusaha memahami, memiliki empati, dan menciptakan solusi [...] serta hasil tak terduga yang menyertainya."
Namun, ini bukan solusi satu untuk semua. Jika mengikuti proses yang sama namun tanpa konteks, itu hanya akan menghabiskan waktu dan sumber daya. Mitra Pentagram, Natasha Jen mengingatkan kita bahwa para kesuksesan desainer dalam menciptakan produk buka karena proses atau kejeniusan mereka, tetapi karena ulasan kritis atas produknya dan common sense yang digunakan saat dikonfrontasi oleh tantangan kerja. Design thinking masih merupakan tool yang bagus, tetapi itu bukan kunci utama.
Apa Business Value dari Design Thinking?
Semua bisnis memiliki list target yang tidak pernah habis, dari terus-menerus merilis produk baru untuk meningkatkan penjualan, menciptakan kepuasan pelanggan, hingga memberi layanan customer support yang lebih baik.
Ketika sebuah industri atau perusahaan manufaktur akan mengeluarkan produk baru, sebuah mesin besar dan sangat mahal dibeli. Tentu saja dengan biaya yang fantastis. Menerapkan design thinking dapat membantu menghemat anggaran secara signifikan karena memusatkan perhatian pada solusi spesifik yang dibutuhkan khalayak —penghematan biaya dapat langsung direalisasikan sebagai bagian dari ROI design thinking.
IEEE, organisasi profesional teknis terbesar di dunia, dalam artikel mereka, "Mengapa Software Gagal," memperkirakan bahwa jumlah yang dihabiskan untuk proyek-proyek TI di seluruh dunia adalah sekitar $1 triliun per tahun.
Menurut laporan mereka, tiga dari dua belas alasan utama mengapa proyek gagal terkait dengan kegagalan user-centered design:
- Persyaratan (requirements) yang tidak jelas
- Komunikasi yang buruk antara klien dan developer
- Politik stakeholders
"Memperbaiki kesalahan pasca development 100 kali lebih mahal dari pra-development." —Susan Weinschenk, dalam video animasi, "ROI of User Experience"
Design thinking adalah cara sederhana untuk merumuskan akar masalah —sering kali membuahkan sudut pandang yang berbeda tentang masalah tersebut— sembari memberi wawasan dan data yang penting untuk membangun solusi tepat yang menghasilkan profit bagi bisnis. Menurut Catherine Courage, SVP dari Customer Experience di Citrix, “kami merilis produk dengan kualitas yang lebih baik, lebih cepat dan menerima lebih banyak pelanggan dan penghargaan industri dibanding sebelumnya. Kami juga menerima peningkatan dalam jumlah feedback pelanggan —pelanggan memperhatikan dan mengakui bahwa kami fokus pada end-user. "
Instansi pemerintah juga menyadari penghematan biaya yang sangat besar sebagai hasil dari design thinking. US Department of Veterans Affairs Center for Innovation mulai menggunakan peta customer journey untuk lebih memahami bagaimana para veteran berinteraksi dengan Veteran Affairs (VA). Latihan sederhana ini menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang kesulitan yang dialami veteran ketika bekerja dengan VA, memberi masukan tentang bagaimana karyawan VA dapat berempati dengan lebih baik dan bekerja dengan lebih efisien.
Penghematan anggaran yang substansial direalisasikan dengan sistem baru yang ramping dan lebih efisien, sehingga meningkatkan pengalaman pengguna sebagai hasil design thinking. Limbah berkurang karena lebih sedikit interaksi yang dibutuhkan oleh karyawan VA untuk melayani veteran secara efisien.
Meskipun setiap bisnis berbeda, langkah pertama untuk memahami bagaimana design thinking dapat membantu bisnis adalah dengan mempertimbangkan tantangan yang dihadapi saat ini. Apa itu, dan apakah ada solusi yang sudah tersedia telah sesuai dengan kebutuhan dan anggaran bisnis? Jika tidak, mengapa? Apa saja hal-hal yang menjadi hambatan, dan dari mana asalnya?
Design thinking memecah permasalahan kompleks menjadi subyek nyata yang dapat dianalisis dan dipecahkan. Membuat perubahan itu di perusahaan Anda bukanlah hal yang mudah, menurut Citrix SVP of Customer Experience, Catherine Courage, “Anda harus menjadikan design thinking bagian dari keseluruhan proses dan tidak hanya dilakukan pada proyek tertentu. Mulai dengan memperhatikan lewat kacamata pelanggan dan terapkan di semua yang Anda lakukan. Mengembangkan fondasi tersebut, menciptakan perubahan kultur di semua proyek dan inisiatif penting untuk dilakukan.”
Bagaimana inovasi membentuk bisnis
Inovasi adalah melakukan hal-hal yang Anda takuti.
Seberapa sering Anda merasa takut akan perubahan?
Perusahaan dikelola oleh sekumpulan manusia. Manusia diatur oleh emosi. Jika suatu perusahaan memiliki kondisi keuangan yang stabil, keinginan untuk mengubah status quo lebih rendah. Keraguan menghambat inovasi.
Ketika era ponsel cerdas dimulai dengan iPhone pertama, beberapa perusahaan mengabaikan potensi di dalamnya. Terlepas dari pertumbuhan perangkat seluler yang ekspansif, perusahaan-perusahaan itu tidak tertarik untuk membuat produk mereka mobile-ready. Sekarang, perusahaan-perusahaan itu menghilang. Industri digital adalah industri yang berkembang dengan pesat di mana kita harus tetap awas pada perubahan. Jika tidak, kita mungkin bernasib seperti perusahaan yang tidak mengikuti langkah iPhone. Memiliki desainer atau tim desain memastikan perusahaan Anda digawangi oleh semangat modernitas.
Bereksperimen —melakukan hal-hal kecil dengan cekatan untuk melakukan sesuatu yang hebat— adalah pendekatan positif yang sesuai dengan filosofi MVP. Mengikuti tren desain secara membabi buta adalah sembrono dan juga tidak memiliki nilai bisnis, tetapi menyelaraskan visi perusahaan atau produk Anda dengan standar saat ini adalah lain hal.
Menjadi yang pertama di pasaran dengan produk inovatif memang berisiko. Tidak ada data pendukung produk yang dapat dipelajari. Membuka jalan itu sulit, tetapi berpeluang untung besar jika dilakukan dengan pendekatan human-centered. Menjadi perusahaan ke-10 di pasaran dengan produk yang serupa jauh lebih kompetitif. Namun, lebih mudah untuk mengisi celah kekurangan produk kompetitor dengan fitur yang diinginkan pelanggan.
Sekali lagi, ini adalah saat dimana penelitian dan implementasi berperan. Tanpa desainer, yang tahu bagaimana cara menyenangkan pelanggan dengan user experience, tidak akan ada inovasi. Kreativitas melahirkan inovasi. Dan inovasi membentuk bisnis.
Alasan untuk Berinvestasi dalam Design Thinking
Apakah Anda seorang CEO, marketer, atau desainer, berikut adalah tiga alasan mengapa perusahaan Anda harus berinvestasi dalam design thinking:
1. Meningkatkan UX artinya menghemat anggaran Anda
- Penelitian UX di awal dapat menghemat ratusan jam pengerjaan software
- Mengurangi biaya dukungan pelanggan (customer support)
2. Fokus pada UX meningkatkan pendapatan Anda
- Meningkatkan tingkat konversi
- Meningkatkan retensi dan loyalitas pelanggan
3. Memperkuat UX yang hebat mendorong keunggulan kompetitif dan mempengaruhi nilai bisnis.
Lihat saja Gojek, Uber, Apple, IBM, dan Intuit.
ROI yang Diperoleh dari Design Thinking
Mengukur laba atas investasi atau return of investment (ROI) dari design thinking dapat menjadi tantangan di bisnis manapun. Lebih sulitnya lagi, perubahan pada operasi bisnis mungkin tidak langsung terlihat.
Namun, banyak contoh kasus yang menunjukkan tanda-tanda yang sangat jelas bahwa metodologi design thinking memberikan perubahan positif yang signifikan di seluruh organisasi. Ketika Intuit menetapkan kebijakan baru di mana karyawan dapat menghabiskan 10% dari waktu mereka untuk mengerjakan proyek sampingan, beberapa karyawan mempertanyakan kebijakan purchasing untuk TurboTax pada tahun 2007.
Mereka menemukan bahwa perusahaan terlalu fokus pada penjualan paket berisi lima software, tetapi sebagian besar pengguna hanya membeli satu. Mengubah fokus itu menghasilkan peningkatan $10 juta dalam penjualan TurboTax di tahun pertama.
Di tanah air, contoh nyata bukti design thinking memberi keuntungan ROI pada bisnis dirasakan oleh salah satu startup unicorn yang lahir pada tahun 2015. Perusahaan ini mengimplementasikan design thinking dalam setiap langkah inovasi fitur dan layanan mereka.
Sepanjang perkembangannya, aplikasi berbasis telepon seluler ini seringkali memberikan inovasi yang memudahkan penggunanya untuk memesan jasa ojek online. Hingga saat ini, mereka berkembang dari yang semula hanya menawarkan jasa ojek menjadi aplikasi yang menawarkan berbagai jasa mulai dari pijat hingga jasa kebersihan. Inilah yang membuat banyak pengguna berpikir untuk menggunakan aplikasi ini untuk keseharian mereka.
Tidak hanya itu, dengan menerapkan design thinking dalam proses desain user experience mereka, pengguna terbukti lebih menyukai menggunakan aplikasi ojek online ini dibanding kompetitornya. Inovasi ini juga yang menyebabkan mereka mampu mengikuti dinamika perkembangan teknologi. Hal ini tentu memiliki keuntungan jangka panjang yang bagus sehingga investor memilih untuk menanamkan modal mereka. Valuasi mereka kini diperkirakan US$ 1,3 miliar, perusahaan mendapat pendanaan dari KKR, Warburg, Ferrara dan Capital Group Private Market senilai US$ 550 juta. Nilai bisnis perseroan diproyeksi naik menjadi US$ 2,5 miliar seiring dengan adanya tambahan modal US$ 1,2 miliar dari pendanaan yang dipimpin Tencent pada 2017.
Pada awal tahun ini, mereka mendapat tambahan modal US$ 1,5 miliar sehingga valuasinya naik menjadi US$ 5 miliar. Putaran pendanaan itu diikuti oleh Google, Temasek, dan Blackrock. Lalu, mereka juga dikabarkan dapat tambahan modal US$ 1,2 miliar sehingga valuasinya diperkirakan mencapai US$ 9 miliar.
Design thinking tidak menjamin kesuksesan produk atau solusi yang lebih baik. Sebaliknya, hal ini mendorong terjadinya eksperimen, pengumpulan data, dan analisis, dan memberdayakan desainer untuk melihat tantangan sehari-hari mereka dengan cara baru. Bagaimana cara desainer mereka melakukannya? Simak proses UX design yang dilakukan oleh Reza Adityawarman.
Kesimpulan
Nilai dari user experience sebagai hasil dari design thinking sangat menarik ketika membandingkan proyek user experience dengan bentuk investasi lain dengan tujuan bisnis serupa. Ada banyak sekali jenis smartphone sebelum iPhone milik Apple sukses di pasaran. Ada taksi sebelum Uber dan jejaring sosial sebelum Facebook. Ada banyak vacuum cleaner sebelum Dyson, retailer sebelum Amazon dan Warby-Parker, dan mobil listrik sebelum Tesla. Semua perusahaan tersebut berbagi satu hal: mereka fokus tanpa henti pada pelanggan dan berusaha memberi user experience sebaik mungkin — yang berakar dalam pada metodologi design thinking mereka.