Dengan meningkatnya volume konsumsi masyarakat terhadap produk digital, kini sudah saatnya untuk memberikan edukasi betapa pentingnya Intellectual Property Ownership pada produk digital. Sekarang siapa sih yang tidak pernah mengkonsumsi produk digital?
Faktanya saja kamu, yang sekarang sedang membaca artikel ini, juga sedang mengkonsumsi produk digital. Eheee. Bukan, bukan ingin menutup mata kalau memang masih ada masyarakat yang belum tersentuh teknologi digital. Entah karena infrastruktur yang memadai, atau faktor lainnya.
Tidak dipungkiri, memang produk digital sudah sangat dekat dengan kehidupan. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Ojek online, portal berita, instant message, media sosial, dan masih banyak lagi. Selain itu, satu fungsi saja tidak cukup satu aplikasi. Seperti e-wallet contohnya. Kamu punya e-wallet A, B, C, ya setidaknya lebih dari satu. Sebagai konsumen, memang kamu memiliki banyak opsi. Tetapi, pernahkah kamu berpikir menjadi pemilik software aplikasi tersebut? Mulai dari kepentingan bisnis, hingga “mungkin” kepentingan politik didalamnya. Intinya, ada banyak kepentingan atas software aplikasi tersebut.
Lah, aku kan konsumen, ngapain ikut mikir masalah begituan?
Iya memang. Kamu adalah konsumen online dari software aplikasi tersebut. Namun, ilmu tentang Intellectual Property Ownership pada produk digital ini penting juga. Kenapa? Agar kamu tahu software aplikasi mana yang pantas untuk kamu support dan bisa kamu percaya. Ada jutaan software aplikasi yang beredar saat ini. Sebagai konsumen online, kamu harus pintar-pintar memilih dalam “menghargai” karya orang lain; untuk kasus ini adalah produk digital berupa software aplikasi.
Banyak tuh aplikasi-aplikasi MOD (bukan aplikasi official dari penyedia platform / aplikasi yang sudah mengalami modifikasi) yang memungkinkan kamu untuk mendapatkan fitur premium secara gratis. Tahukah kamu bahaya dari menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut? Hanya untuk mendapatkan konten “gratis”? Percaya deh, kamu harus lebih berhati-hati terhadap keamanan data yang kamu bagian kepada aplikasi MOD tersebut.
Sebelum kamu tambah bingung. Lebih baik kita bahas dari akarnya dahulu.
Apa itu Intellectual Property Ownership pada produk digital?
Intellectual Property Ownership (IPO) sebenarnya bukan istilah baru. Namun, dalam dunia digital, bisa dibilang baru sedikit orang yang paham tentang pentingnya Intellectual Property Ownership pada produk digital. Dengan meningkatnya volume konsumsi produk digital di Indonesia, harusnya sosialisasi tentang hal ini semakin gencar lagi.
Untuk lebih paham mengenai istilah Intellectual Property Ownership pada produk digital, kamu kudu paham dulu arti dari Intellectual Property. Menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), Intellectual Property merupakan “segala sesuatu” hasil dari buah pemikiran. Segala sesuatu tersebut terdiri dari penemuan, sastra & karya artistic, simbol, nama, dan gambar yang digunakan secara komersial. Nah, Intellectual Property itu dibagi kedalam enam tipe:
- Patent
- Trade secret
- Trademark
- Industrial Design
- Geographical Indications
- Watermarks
Yuk bahas satu per satu!
1. Patent / Paten
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan atas penemuan berupa produk atau proses baru dalam melakukan sesuatu atau dalam memecahkan suatu masalah. Nah, biasanya si penemu ini akan diberikan hak paten selama 20 tahun. Jadi, tidak selamanya ya.
Mungkin kamu sudah pernah dengar istilah paten. Apalagi jika kamu adalah seorang tech-junkies. Apple vs Samsung adalah yang paling heboh. Bayangkan saja, 7 tahun kasus hak paten tidak kunjung usai. Hehehehe.
Pernah ingat tidak apa yang terjadi? Jadi begini, pada tahun 2011, perusahaan raksasa Apple mengajukan keberatan atas pelanggaran hak paten pihak perusahaan raksasa Samsung. Apple menganggap Samsung telah melanggar hak paten desain dan utilitas perusahaan. Sehingga, Apple melakukan tuntutan sebesar 1 miliar US dolar kepada Samsung. Loh? Memangnya paten desain dan utilitas apa yang dilanggar samsung?
Tidak. Pada artikel kali ini, SoftwareSeni tidak akan membahas lebih jauh perihal kasus ini. Sampel contoh tersebut diberikan sebagai gambaran betapa pentingnya Intellectual Property Ownership pada produk digital. Yang jelas, pihak Samsung dianggap melakukan komersialisasi penemuan Apple tanpa sepengetahuan Apple sebagai pihak yang memegang paten atas desain dan utilitas pada smartphone.Lalu, bagaimana cara mendapatkan paten atas hasil penemuan kamu?
- Rekam data penemuan
Setiap ide yang muncul pasti memiliki latar belakang atas sebuah masalah. Nah, kamu perlu banget mencatat latar belakang penemuan kamu. Bukan cuma itu, detail percobaan yang gagal dan berhasil pun perlu kamu rekam. Kamu juga perlu beberapa saksi untuk menyatakan bahwa penemuan yang kamu temukan murni buah pemikiranmu, dan bukan “curian” dari orang lain. Karena, hal yang paling mahal dari paten adalah ide dan latar belakang produk penemuan kamu. Serius.
- Pastikan penemuan memenuhi kualifikasi paten
Yap. Tentu sebelum kamu melakukan pengajuan hak paten atas penemuan tersebut, ada beberapa kualifikasi yang perlu kamu penuhi. Kalau kamu penasaran tentang kualifikasi apa saja yang harus kamu penuhi untuk mematenkan hasil penemuan, boleh banget cek artikel dari NOLO ini. Jangan sampai kamu gegabah dan mengabaikan kualifikasi paten yang sudah ditetapkan ya! Hehehehe.
- Hitung nilai potensi komersial dari penemuan
Sebenarnya, mengajukan hak paten atas penemuannya adalah salah satu langkah investasi. Kenapa? Jika berniat untuk mengajukan permintaan hak paten atas hasil penemuan, kamu harus membayar sejumlah dana. Jumlahnya? Bisa jutaan hingga puluhan juta rupiah. Nah, dana tersebut bisa dikategorikan sebagai investasi. Kenapa?
Kamu punya hak untuk melakukan komersial, atau memberikan lisensi komersial kepada orang lain akan hak paten yang kamu miliki. Royalti. Selain itu, ada jangka waktu yang cukup lama loh terhadap paten yang kamu punya. Yap, 20 tahun. Jika ada perusahan yang ingin memakan paten kamu selama 20 tahun, ibarat kamu memiliki passive income. Eheee.
- Lakukan pencarian paten menyeluruh
Pastikan hasil penemuan yang ingin kamu patenkan belum pernah dipatenkan oleh pihak lain. Jangan sampai, ketika kamu sudah melangkah terlalu jauh, ternyata paten yang ingin kamu daftarkan justru sudah dipegang oleh pihak lain.Wah, hak paten kan banyak sekali, masa disuruh mencari secara menyeluruh?
Tidak kok. Cukup dibidang yang kamu tekuni saja. Misalnya, penemuan kamu ada dibidang IT. Ya cukup paten dibidang IT saja yang kamu explore.
- Mempersiapkan untuk pengajuan aplikasi paten dengan the USPTO
Secara general, aplikasi paten berisi tentang judul penemuan, dan deskripsi teknisnya. Dari latar belakang penemuan & deskripsi penemuan harus menggunakan bahasa yang jelas dan memiliki detail yang cukup. Nah, dalam aplikasi paten juga perlu mencantumkan siapa saja pihak-pihak yang berhak melakukan reproduksi penemuan. Ketika kamu melakukan pengajuan dengan the USPTO, ada dua pilihan, loh:
- RPA (regular patent application)
- PPA (provisional patent application)
Bedanya apa? PPA itu bukan aplikasi paten. Itu hanya semacam “pending” status untuk penemuan kamu. Jadi, misalnya kamu berhasil mengembangkan aplikasi / software mobile apps dengan fungsi baru. Nah, ketika kamu mengajukan PPA, itu artinya kamu siap mematenkan hasil penemuan tersebut. Dengan satu catatan, tidak boleh lebih dari 1 tahun. Jadi, dalam waktu 1 tahun itu, kamu harus memproses RPA untuk paten tersebut. Kalau tidak? Hangus. Eheeee
2. Trade Secret
Trade secret merupakan Intellectual Property yang memiliki potensi untuk dikomersialkan. Baik dijual lepas maupun dengan lisensi. Kamu harus paham bahwa tidak semua informasi itu bisa dimasukkan ke dalam trade secret. Ini kriterianya:
- Informasi harus punya nilai komersial
- Informasi hanya diketahui oleh jumlah orang yang terbatas
- Informasi tersebut harus secara profesional dijaga kerahasiaanya dengan menggunakan confidentiality agreement kepada partner bisnis dan juga pekerja yang mengetahui tentang informasi tersebut.
Memangnya, informasi macam apa yang bisa dikategorikan dan dilindungi oleh trade secret?
Secara umum, informasi yang bisa dilindungi oleh trade secret adalah informasi yang memberikan competitive advantage bagi perusahaan dan tidak dimiliki oleh banyak pihak. Misalnya database pengguna aplikasi. Facebook, sebagai salah satu perusahaan IT terbesar di dunia, memiliki database pengguna yang sangat besar. Dari database tersebut, Facebook dapat menawarkan sistem periklanan yang akan mendatangkan pendapatan bagi perusahaan. Nah, database pengguna Facebook dapat dikatakan sebagai informasi yang dapat dilindungi oleh trade secret.
Gojek, Uber, dan perusahaan sejenisnya juga memiliki trade secret. Algoritma. Yap, informasi algoritma itu penting pake banget untuk dijadikan trade secret. Misalnya saja fitur GoSend pada GoJek. Banyak penyedia platform yang bekerja sama dengan GoJek menggunakan API dari GoJek untuk mendapatkan fasilitas GoSend. Tentunya tidak gratis eheee. Memang bukan secara langsung dalam bentuk uang, tetapi informasi yang punya “nilai”. Eheeeee. Komersial kann. Bukan lagiiiii.
3. Trademark
Trademark merupakan bentuk “pembeda” dari sebuah produk baik barang maupun jasa dari suatu perusahaan dari produk lainnya. Logo. Yap, itu contoh yang paling mudah. Kamu tidak bisa tuh memakai logo “nike” di event yang tidak ada kesepakatan dengan pemilik trademark. Bisa dituntut.
Kamu punya produk?
Punya logo?
Trademark-in aja!
Gimana caranya?
Pada level nasional, kamu bisa tuh daftar di HKI Indonesia. Untuk cara-caranya, kamu bisa langsung ke portal website HKI. Lengkap!
Pada level International, kamu bisa daftarkan trademark dengan dua cara. Pertama, kamu bisa mendaftarkan logo yang menggambarkan merek dagang produk pada tiap negara yang ingin kamu target. Satu-persatu. Kedua, kamu bisa mendaftarkan merek dagang kamu ke WIPO Madrid System.
Kalau sudah punya trademark, untungnya apa?
Pertama dan yang terpenting, kamu bisa mengamankan logo merek produk kamu. Kedua, kalo memang secara demand terhadap trademark kamu bagus, bisa banget kamu membuat lisensi agar trademark kamu bisa dipakai oleh pihak lain. Biasanya dipakai untuk kolaborasi brand. Hihihihihi.
4. Industrial design
Kalau trademark itu tentang merek, nah industrial design ini lebih kepada suatu hal yang ornamental dan aesthetic pada produk kamu. Industrial design itu bisa berupa tiga dimensi, misalnya packaging produk. Bisa juga industrial design berupa dua dimensi, misalnya Coca-cola identik dengan packaging warna merah. Shopee dengan aplikasi serba orange. Dan banyak hal lainnya.
Emangnya, kalau perlindungan apa yang bakal didapat?
Jadi, ketika kamu meregistrasikan industrial design produk kamu (yang tentunya harus memenuhi syarat dan ketentuan) dan berhasil mendapatkan paten atas desain tersebut, kamu bisa punya hak istimewa. Apa saja?
- Desain kamu akan dilindungi dari para makhluk jahanam yang mencoba mengambil peruntungan dari desain tersebut TANPA izin darimu.
- Orang lain tidak boleh memproduksi, menjual, serta mengimpor barang yang “mirip” dengan paten desain milikmu.
- Kamu punya hak untuk mengkomersialkan desain yang sudah kamu patenkan. Cuan cuan cuan. Eheee.
Tetapi, kamu juga perlu jeli. Kenapa? Hak industrial design yang kamu punya, hanya berlaku di negara kamu meregistrasikan desain tersebut. Jadi, kalau kamu melihat orang lain, di negara lain menjual produk dengan desain serupa, tetapi kamu tidak punya hak paten atas desain di negara tersebut, kamu harus legowo. Kecuali kamu mendaftarkan desain tersebut di negara yang bersangkutan.
Nah kalo produk digital macam software dan mobile app, industrial desain macam apa sih yang bisa kamu daftarkan?
Ada yang namanya Graphical User Interface (GUI), dan logo. Tentu kedua elemen tersebut tidak bisa lepas dari produk digital macam software dan mobile apps, ya? Ehee.
5. Geographical indications
Geographical indications pada Intellectual Property merupakan bentuk hak yang diberikan kepada suatu produk yang memiliki lokasi yang spesifik perihal cara membuat, bahan baku, kualitas, hingga reputasi sebuah produk. Misalnya, keju Gruyere dari Swiss. Keju tersebut hanya boleh diproduksi menggunakan susu sapi yang berasal dari beberapa daerah di Swiss. Dan hanya dapat diproduksi di daerah yang terdaftar. Begitu pula proses pembuatan serta quality control. Sehingga, tidak ada tuh yang bisa meminjam nama Gruyere cheese dari Swiss.
Biasanya produk yang memiliki geographical indications memiliki logo khusus atau tanda khusus yang sulit untuk ditiru. Jadi, gak ada tuh yang namanya kw kw produk. Hihihihi. Produk apa saja yang bisa mendapatkan geographical indications?
- Agricultural products
- Foodstuffs
- Wine
- Spirit drinks
- Handicrafts
- Industrial products
Loh produk digital macam software & mobile apps tidak bisa? Huhuhu. Untuk saat ini, penulis belum nemu nih untuk produk digital. Eitss, jangan sedih. Ini justru bisa jadi peluang kamu, untuk membuat marketplace / e-commerce yang khusus menyediakan produk-produk original bersertifikasi geographical indications.
Misalnya, madu hanukkah, keju, truffle, dll. Eheee. Atau, kamu punya produk yang secara turun temurun yang namanya sudah mendunia? Macam gudeg Yu Djum & bakpia pathok? Bisa banget, kamu coba meregistrasikan produk tersebut. Ada tiga pendekatan yang bisa kamu lakukan untuk mendapatkan perlindungan atas geographical indication:
- Rezim perlindungan khusus
- Menggunakan “tanda” atau sertifikasi pada produk. Seperti yang digunakan pada keju Gruyere di Swiss.
- Fokus pada metode praktik bisnis, termasuk administrasi dan quality control.
Gimana? Kamu tertarik?
6. Watermark
Apakah kamu pernah mengunggah foto yang kamu ambil, lalu ada orang lain yang menggunakan foto tersebut tanpa izin darimu? Nah, sebenarnya ini adalah cara paling sederhana untuk mengamankan aset digital kamu. Bukan cuma foto. Bahkan dokumen proposal, dll kalau bisa dibubuhi dengan watermark. Alasannya? Masih sama kok. Untuk menghindari kejahatan “oknum” yang mencoba untuk menyalahgunakan aset digital tersebut.
Pentingnya Intellectual Property Ownership pada produk digital
Nah, kamu sudah mengenal tipe-tipe Intellectual Property nih. Sekarang, fokus ke produk digital macam software hingga mobile app, ya!
Kira-kira bagian mana saja dari website (termasuk e-commerce) yang termasuk dalam Intellectual Property Ownership pada produk digital? Yuk kita selami satu per satu.
1. E-commerce system, search engine, or other technical internet tools
Membuat sistem itu rumit. Mulai dari flow software, hingga tampilan yang mudah dimengerti oleh user, merupakan tantangan bagi software developer. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menemukan sistem baru. Apalagi jika sistem yang ditemukan berdampak besar bagi user. Nah, ada lubang besar yang menganga nih pada sistem software. Mudah direplikasi. Ya, jika yang mereplikasi adalah orang yang membuat sistem. Tetapi, bagaimana jika yang mereplikasi adalah pihak lain tanpa ijin? Nah, untuk melindungi produk sistem software tersebut, sang pencetus sistem bisa tu mendaftarkan sistem software dan akan masuk pada tipe paten dengan utilitas sebagai dasar perlindungan.
2. HTML
Software berbasis website sepertinya sudah familiar dengan HTML. Yap, jika kamu sedang membangun software (web app, mobile app) tanpa “replika” HTML sistem lain a.k.a buat sendiri, kamu punya hak atas copyright terhadap produk digital yang sedang kamu kembangkan. Tetapi, kamu juga perlu memastikan jika produk digital yang sedang kamu kembangkan sudah memenuhi ketentuan yang berlaku. Cari tahu informasi tentang Intellectual Property Ownership pada produk digital itu dimana? Nih, cek website dgip.go.id
3. Website Design
Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari produk digital berupa website, software hingga mobile app, website design merupakan wakil dari kepribadian website tersebut. Mulai dari warna, ilustrasi, hingga komponen tampilan website termasuk ke dalam website design. Jika website design tersebut sangat berpengaruh dalam hidup user, bahkan tanpa mencantumkan nama, brand, atau informasi yang mengidentifikasi website tersebut, user akan begitu mudah mengenali website tersebut. Misalnya, sistem Google Search, Facebook, Instagram, dll.
Nah, untuk melindungi semua itu, kamu perlu untuk mendaftarkan website design tersebut agar mendapatkan paten. Sehingga, jika ada pihak lain yang menggunakan website desain tersebut.
4. Content
Content adalah aset digital. Bisa berupa copywrite, bisa juga berupa artikel, foto, tagline, jargon dan lain sebagainya. Dalam sebuah website / aplikasi tentu tidak mungkin kosong tanpa content. Nah, konten itu punya nilai sendiri terhadap platform tersebut. Misalnya pada website mojok.com. Semua konten artikel sudah seperti karya seni. Banyak banget macamnya. Ilustrasinya juga gemes-gemes. Jika karya dalam bentuk konten dalam website tidak dilindungi, tentu portal macam mojok.com akan kehilangan seninya. Competitive advantage akan hilang. Jangan sedih. Kamu bisa banget loh meregistrasikan konten tersebut agar mendapatkan copyright atas karya yang kamu buat.
5. Database
Kamu pasti sering mendengar istilah “data is a new oil” kan? Yap, ketika data saja bisa sangat berharga, apa lagi database? Uh, tidak mau membayangkan deh apa yang terjadi. Bahkan yang membuat perusahaan macam Facebook dan Google berjaya ya karena database user yang mereka miliki. Saking banyaknya, mereka kini dapat meraup keuntungan yang besar dari perusahaan yang ingin beriklan pada platform mereka. Facebook dengan Facebook ads, dan Google dengan Google ads. Coba bayangkan jika database mereka dicuri atau hilang, atau diduplikasi. Waduhhhhh, selain penguatan keamanan data pada server, database tersebut juga harus dilindungi secara hukum melalui payung paten.
6. Business names, logo, products name
Tidak ingin nama bisnismu dicatut oleh pihak tidak bertanggung jawab?
Atau logo produk / bisnismu dipakai sembarangan oleh orang?
Kejadian di Indonesia?
BANYAK hahaha.
Jangan sedih. Sebelum kejadian sama kamu, yuk urus legalitas perusahaan, beserta mendaftarkan nama bisnis, produk, hingga logo platform kamu. Apalagi jika perusahaan kamu adalah perusahaan startup. Paten bisa menjadi daya pikat perusahaan untuk menarik investor loh. Bisa juga mempengaruhi valuasi perusahaan secara signifikan.
Eits, tapi jangan sampai tergiur akan valuasi perusahaan yang tinggi tanpa diimbangi oleh performa perusahaan yang baik ya. Ingat, paten hanya sebagai batu loncatan. Eksekusi tetap ada ditangan kamu. Eheee.
7. Hidden aspects
Source code. Apa itu source code? Source code merupakan sekumpulan perintah dan statement yang ditulis oleh programmer / developer menggunakan bahasa pemrograman. Misalnya algoritma pada software yang kamu punya. Bagi orang awam, source code merupakan hal yang “tersembunyi”. Hanya segelintir orang yang memiliki akses untuk melihat source code pada software. Nah, source code tersebut bisa kamu daftarkan sebagai trade secret law. Karena apa? Itu rahasia dapur kamu. Eheeee.
Pastikan kejelasan Intellectual Property Ownership pada produk digital ketika menggunakan jasa Software House
Nah, tidak semua orang mampu membangun produk digital nya sendiri. Bahkan, banyak perusahaan IT besar yang memilih Software House dalam mengembangkan produk digital mereka. Kenapa? Founder dapat fokus terhadap strategi bisnis. Namun, kamu jangan asal pilih Software House. Itu karena Intellectual Property Ownership pada produk digital sangatlah penting. Jangan sampai, alih-alih mencari software development murah, justru Intellectual Property Ownership pada produk digital yang kamu gadaikan.
Lalu, agar hal tersebut tidak terjadi, apa saja yang perlu kamu persiapkan?
1. NDA (Non Disclosure Agreement)
Apa itu? Non Disclosure Agreement merupakan surat pernyataan menjaga kerahasiaan. Kerahasiaan informasi yang akan dibagikan oleh pihak terkait. Kalau kamu sudah pernah membaca artikel tentang cara membuat perusahaan startup yang sukses, pasti kamu sudah paham kenapa ide itu harus dilindungi. Eheeee.
2. Pilih Software House Yang Memiliki Integritas
Banyak software house yang menawarkan harga “miring” dalam membuat produk digital. Nyatanya, membuat produk digital dengan sistem beli lepas (Penyerahan Intellectual Property Ownership pada produk digital kepada Client) itu tidak murah. Apalagi untuk software yang kompleks. Kenapa? Database, Source code, Design, dll. Yap, yang kamu beli adalah Intellectual Property Ownership pada produk digital. Bukan cuma “akses” terhadap produk digital.
Kamu punya hak untuk mengkomersialkan produk digital tersebut. Dan, Software House yang membuat produk digital tersebut tidak memiliki hak atas data, dan aset digital dalam software. Jadi, kamu perlu banget tahu, tentang apa yang akan kamu beli melalui software house. Kamu membeli “akses” atau kamu membeli “Intellectual Property Ownership pada produk digital”. Tentu kedua hal tersebut memiliki harga yang berbeda.
Jangan sampai kamu memilih Software House yang hanya memberikanmu akses dalam menggunakan platform. Tetapi, kamu tidak punya hak atas source code, hingga database. Mau ngirit, malah jebol. Eheeee.
Kalau kamu bingung bagaimana memilih Software House yang tepat. Jangan sedih. SoftwareSeni punya artikel yang bakal bantu kamu untuk memilih Software House dengan tepat.
3. Perhatikan Statement of Work (SOW)
Kamu pikir, setelah kamu memilih software house yang tepat, lantas semua bisa kamu percayakan begitu saja?
Oh tentu tidak. Perhatikanlah Statement of Work yang mereka tawarkan.
Statement of work itu apa?
Surat pernyataan lingkup kerja.
Yap, Software House yang profesional akan secara transparan memberitahu kepada kamu tentang lingkup kerja yang kan mereka lakukan. Sehingga, kamu bisa melihat secara detail bagian apa saja yang tercover, dan bagian apa saja yang berada di luar lingkup proyek.
Software development merupakan proses yang berkelanjutan. Software House harus membatasi lingkup kerja. Normalnya, sampai produk dapat digunakan dengan optimal. Namun, biasanya jika kamu menginginkan pengembangan berkelanjutan, akan ada surat perjanjian terpisah. Jadi, perhatikan benar-benar statement of work yang ditawarkan oleh Software House, ya! Eheeee.
4. Garansi
Membuat produk digital dengan bantuan Software House itu tidaklah murah. Ibarat kamu membeli karya seni. Perlindungan akan keoptimalan fungsi software harus ada. Misalnya di SoftwareSeni, garansi produk 1 bulan akan diberikan kepada semua klien. Namun, tentunya tidak semua Software House melakukan hal yang demikian.
5. Dokumentasi Proyek
Ini yang paling penting pake banget. Ketika kamu memutuskan untuk bekerja sama dengan Software house dalam membuat produk digital / software yang diinginkan. Perlu banget kamu bertanya perihal dokumentasi yang akan diberikan. Kenapa? Semua detail software development ada di situ. Dari asset hingga source code ada di situ. Yap, sepenting itu.
Jadi, kalau ada Software House yang tidak mau memberikan dokumentasi tersebut, sudah tahu kan apa artinya? Eheeeee.
Kesimpulan Pentingnya Intellectual Property Ownership pada produk digital
Yup. Dengan meningkatnya penggunaan produk digital di Indonesia, kini saatnya kamu tahu lebih jauh tentang pentingnya Intellectual Property Ownership pada produk digital. Kenapa? Sekarang, kamu bukan cuma sebagai konsumen produk digital. Tetapi, kamu juga memiliki aset digital. Misalnya, foto-foto yang kamu ambil via smartphone, hingga ilustrasi yang kamu buat. Itu baru pada level sederhananya.
Nah, sebenarnya ada 6 tipe Intellectual Property Ownership pada produk digital. Apa saja? Patent, trade secret. trademark, industrial design, geographical indications, watermark. Nah, dalam produk digital (software berbasis website, hingga mobile apps), ada beberapa elemen yang bisa kamu daftarkan atas dasar Intellectual Property. Misalnya, e-commerce system, search engine, or other technical internet tools, HTML, website design, content, database, business names, logo, products name, dan hidden aspect.
Lalu, jika kamu berniat untuk membangun produk digital dengan bantuan Software House, apa saja yang perlu disiapkan untuk memastikan Intellectual Property Ownership pada produk digital tersebut aman? Langkah pertama adalah membuat pernyataan non disclosure agreement (NDA), lalu pilihlah Software House yang berintegritas. Caranya? Coba deh, kamu baca artikel SoftwareSeni tentang cara memilih Software House yang tepat. Lalu, perhatikan dengan teliti statement of work yang ditawarkan. Jangan teledor. Pastikan produk digital yang dibangun bergaransi. Masa berani membuat tidak berani memberi garansi? Eheee. Dan yang terakhir adalah dokumentasi. Isi dari dokumentasi itu sangat krusial dalam proses software development. Mulai dari aset digital hingga source code, ada di dalam dokumentasi. Jika perusahaan Software House enggan memberikan dokumentasi atas proyek yang dibangun. Hati-hati kena jebakan batman ya! Eheee.