Terkadang, perusahaan startup salfok. Yap, salah fokus. Ingin “terlihat” paling canggih. Menawarkan teknologi tinggi misalnya. Namun, ketika itu terjadi, banyak yang lupa jika pada akhirnya konsumen lah yang akan menilai. Tenang, itu tidak cuma terjadi pada perusahaan startup kok. Dalam proses transformasi digital, banyak perusahaan korporat yang kadang masuk jebakan batman. Terfokus pada teknologi. Namun, justru mengabaikan konsumen.
Padahal, transformasi digital adalah perihal siapa yang berhasil meningkatkan daya saing perusahaan. Bukan menunjukan perusahaan mana yang paling canggih. Perlu disadari, bagi banyak perusahaan rintisan atau startup, menjadi berbeda itu penting. Yang harus menjadi garis bawah tebal adalah apakah menjadi “beda” akan selalu menarik dan fungsional? Belum tentu. Nah, disitu kadang banyak perusahaan startup yang terkecoh.
Yuk, kita coba bedah data BeKraf perihal startup di Indonesia pada 2018.
Total keseluruhan startup di Indonesia mencapai angka nyaris 1000, 992 tepatnya. Memang, lebih dari 50% startup ada di Jabodetabek. Namun, itu bukan berarti buruk. Itu adalah hal wajar dimana Jakarta masih menjadi pusat perekonomian Indonesia.
Mau tahu fakta yang lebih mengejutkan?
Per Maret 2019, situs Startup Ranking mencatat ada lebih dari 2000 startup Indonesia, 2074 tepatnya. Oh iya, situs Startup Ranking hanya mencatat perusahaan startup berbasis teknologi, ya. Dari data yang telah dipublikasi oleh BeKraf dan situs Startup Ranking, terjadi pertumbuhan perusahaan startup yang begitu cepat.
Bahkan, Indonesia tercatat menjadi peringkat ke 5 sebagai negara dengan startup terbanyak di dunia. Kamu boleh bangga dengan prestasi itu.
Namun, kamu tidak boleh terkecoh. Faktanya, ada 90% perusahaan startup yang gagal. Persentase yang tidak sedikit. Hanya, menyisakan 10% perusahaan startup yang bertahan.
Apa alasannya?
Visualisasi dari CB Insights memperlihatkan data yang cukup representatif perihal penyebab perusahaan startup gagal. Peringkat 1 kegagalan adalah karena tidak ada pasar dari produk yang ditawarkan oleh perusahaan startup. Bukannya tanpa alasan. Ada satu kemungkinan besar yang menyebabkan kegagalan perusahaan startup dalam menembus pasar.
Teknosentris. Yap, terlalu fokus terhadap teknologi yang digunakan sehingga mengesampingkan usability dari konsumen yang diincar. Sehingga, tidak adanya kecocokan antara teknologi yang ditawarkan dengan kebutuhan pasar. Bukan karena produk perusahaan startup buruk. Hanya saja belum dibutuhkan.
Tentu argumen di atas bukan cuma omong kosong. Awal 2000an, teknologi menjadi alat yang superior untuk mengoptimalkan produktivitas perusahaan. Namun, karena sifat superior tersebut lah yang justru menyebabkan teknologi sudah bukan lagi menjadi titik unggul suatu perusahaan. Sehingga, investasi besar-besaran terhadap teknologi sudah tidak relevan. Karena sudah jelas, yang memiliki modal besar tentu akan untung.
Kenapa?
Karena, perusahaan yang memiliki modal besar, akan dengan mudah mengadaptasi teknologi terbaru dan tercanggih dengan cepat. Padahal, kamu juga tahu, implementasi teknologi terbaru, apa lagi yang tercanggih itu perlu dana yang tidak sedikit, bukan? Eheee.
Nah, terjadi tuh yang namanya pergeseran prioritas. Industrialisasi telah membentuk desain baru terhadap konsumen dan ekonomi yang mana membutuhkan sumber daya yang tidak terbatas. Yap, itu menurut jurnal yang ditulis oleh Isabela Moroni, dan Amilton Arrunda yang berjudul “Understanding How Design Processes Can Contribute To The Enhancement of Innovative Capacity in The Universe of Startup Companies”. Panjang ya judulnya. Eheeee.
Jadi, apakah teknosentris pada perusahaan startup masih relevan?
Masih relevan. Namun, dengan penyesuaian. Kini, inovasi bukan lagi sekadar teknologi mana yang paling canggih. Tetapi juga mengkombinasikan elemen lain seperti konsumen dan kondisi ekonomi konsumen.
Alasannya?
Tentu ketika perusahaan startup membangun teknologi baik secara hardware maupun software, harus dapat menjawab pertanyaan “untuk siapa?”. Kembali lagi konsumen akan terlibat. Baik konsumen berupa masyarakat umum, perusahaan korporasi, atau bahkan pemerintah. Yap, mereka semua adalah konsumen. Ada aktivitas ekonomi pada akhirnya. Bukan begitu?
Teknologi Pada Perusahaan Startup
Benar, tidak semua perusahaan startup adalah perusahaan IT. Tetapi, bukan berarti perusahaan startup non IT itu berarti tidak menggunakan produk teknologi baik dalam bentuk hardware / software sekalipun, kan? Ya, setidaknya yang paling sederhana adalah website. Website merupakan representasi teknologi berupa Software. Jangan salah. Website itu punya power loh, dalam suatu perusahaan. Ibarat kantor, website itu kantor perusahaan di dunia internet. Nah, yuk ambil analogi antara website dan kantor.
Coba pikirkan.
Kamu punya perusahaan startup, memutuskan untuk menyewa kantor megah. Besar, agar cukup menampung banyak orang. Namun sayang, jumlah meja dan kursi dalam kantor tidak mampu memenuhi kebutuhan perusahaan. Bukan cuma itu, tidak ada ruangan meeting! Baik ruangan meeting untuk klien, sampai ruangan meeting untuk karyawan kamu sendiri. Tidak fungsional. Tidak ekonomis. Tidak produktif. Padahal, kantor besar dan megah. Yang salah apa?
Coba, sekarang kamu lihat dari sisi website. Kamu sudah punya website perusahaan. Desain nan cantik, mengundang. Punya server database dengan kapasitas besar. Tetapi konten sepi, kosong. Bahkan traffic yang masuk ke dalam website sepi. Bahkan tidak ada halaman khusus untuk calon klien untuk menghubungi perusahaan kamu. Tidak fungsional. Tidak ekonomis. Tidak produktif. Sudah bisa melihat persamaan antara website dan kantor perusahaan startup?
Yang sama-sama berperan penting dalam aktivitas operasional perusahaan. Bedanya hanya platform. Fisik (on-premise) dan digital (cloud).
Nah, pada saat membangun website, kamu tidak boleh tuh mengabaikan tingkat usability website. Baik dari sisi developer, maupun user.
Maksudnya gimana?
Ketika kamu memutuskan untuk menggunakan teknologi paling baru dipasaran, maka akan ada 2 kemungkinan yang terjadi di sisi developer:
- Kesulitan mencari developer terkait teknologi terbaru tersebut
- Biaya pengembangan bisa jadi jauh diatas harga wajar
Kenapa?
Layaknya produk, seorang developer juga harus melihat pasar. Teknologi mana yang sedang menjadi primadona, dan teknologi mana yang memiliki potensi baik di masa depan. Sehingga, jika peminat teknologi terbaru dirasa masih sangat sedikit, developer tidak akan memberikan proporsi yang besar terhadap teknologi tersebut.
Akibatnya?
Sudah jelas, tim developer yang bisa mengembangkan website dengan teknologi baru tersebut akan sangat terbatas. Itu juga yang akan menyebabkan harga jasa developer terhadap teknologi baru tersebut cenderung diatas harga wajar.
Bukan cuma itu, bahkan dari sisi user juga akan memiliki 2 kemungkinan, jika kamu memutuskan mengembangkan website menggunakan teknologi terbaru.
- User tidak akan merasakan perbedaan yang signifikan antara website dengan teknologi yang kebanyakan orang pakai vs teknologi baru
- Pengalaman user dalam memakan website akan dipertaruhkan; UI / UX yang lebih baik, tau justru jauh lebih buruk
Dalam salah satu artikel SoftwareSeni berjudul “Kenapa User Experience (UX) Penting Dalam Membuat Website” sudah dijelaskan bahwa dalam menciptakan teknologi terutama website, pengalaman pengguna menjadi fokus pengembangan. Nah, itu baru sekadar website. Belum sampai aplikasi website dengan fungsinya yang kompleks.
Memang, sepertinya sekarang Super App sedang naik daun. Tetapi, sejauh mana software aplikasi perusahaan startup kamu bisa berpengaruh terhadap konsumen? Itu yang menjadi tantangan. Lagi-lagi konsumen, lagi-lagi konsumen.
Perlu ditegaskan. Tidak baik bagi perusahaan Startup untuk memutuskan untuk fokus pada kecanggihan teknologi daripada usability user dalam menggunakan produk digital (website application & mobile application).
Teknosentris
Lalu apa yang dimaksud dengan teknosentris? Teknosentris merupakan cara berpikir menempatkan penggunaan teknologi sebagai pusat pengembangan dengan melakukan promosi dan penekanan pada “value” daripada teknologi yang dipakai. Dari pengertian di atas, nampak tidak ada yang salah dengan teknosentris, kan? Apalagi jika perusahaan startup di bidang IT. Ya, jika tidak dikomersialkan.
Namun, bagaimana jika produk perusahaan startup tersebut memang ditujukan untuk konsumen?
Apalagi jika produk tersebut adalah produk digital?
Nampaknya, menjadikan teknologi sebagai pusat agak sedikit keliru.
Kenapa?
Dari arti terminologi kata teknosentris sendiri sudah cukup jelas, teknologi lah yang akan menjadi pusat perusahaan. Bahkan, jika dibawa lebih jauh, semua keputusan perusahaan startup akan ditentukan dengan seberapa besar “value” dari teknologi bisa berdampak bagi mereka.
Nah, yang salah kaprah, dan bukan cuma perusahaan startup yang mengalaminya, adalah dimana perusahaan mulai oleng. Kehilangan fokus. Apalagi ketika penetrasi teknologi ke dalam perusahaan begitu cepat. Sama seperti yang terjadi ketika perusahaan sedang melakukan transformasi digital. Karena terjadi perpindahan platform yang cukup masif (dari on-premise ke digital / cloud), terkadang perusahaan menjadi lupa akan visi & misi utama transformasi digital; Meningkatkan daya saing perusahaan.
Peran Konsumen Bagi Perkembangan Perusahaan Startup
Konsumen merupakan komponen penting dalam menjawab “untuk siapa” produk perusahaan startup diciptakan. Konsumen memiliki banyak characteristic. Itu seninya. Konsumen itu seperti kanvas putih yang bisa kamu lukis sesuai dengan tools yang kamu punya. Proses pengkategorian konsumen itu yang seru. Mulai dikategorikan berdasarkan gender, usia, penghasilan, preferensi, hobi, pekerjaan, industri, dan apapun itu ‘terserah’.
Kenapa kata ‘terserah’ itu diberi tanda petik?
Arti kata ‘terserah’ bukan berarti semau gue. Tetapi, lebih kepada sesuai dengan siapa yang ingin kamu pengaruhi. Menjual produk itu bukan perkara “gue jual lu beli”, tetapi lebih dari itu. Perusahaan startup bisa dibilang sukses jika berhasil mempengaruhi suatu aspek dalam kehidupan konsumennya. Apple misalnya. Perusahaan Apple memiliki penggemar setia yang sering dinamakan “Apple fanboy”.
“Ya, itu kan perusahaan besar. Coba dong perusahaan startup!”
Ada. Gojek.
Cara mempengaruhi salah satu aspek kehidupan konsumen itu tidak mudah loh. Kamu pikir, dengan menyediakan produk paling canggih dan terbaru saja cukup? Tidak semudah itu ferguso. Jika semudah itu, harusnya banyak perusahaan besar yang sudah melakukan hal tersebut sejak lama. Nyatanya tidak.
Salah satu wujud peduli perusahaan terhadap konsumen tertuang dalam aktivitas marketing. Bahkan marketing biasanya memiliki proporsi anggaran yang cukup banyak. Dan mungkin hampir setara dengan anggaran IT pada perusahaan startup. Cukup wow ya?
Kenapa?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam menetapkan “untuk siapa” produk perusahaan startup dibuat, ada begitu banyak karakter konsumen yang harus didefinisikan. Mulai dari gender, umur, hobi, pekerjaan, dan lain sebagainya. Nah, marketing ini, memiliki fungsi sebagai daya pikat. Dimana biasanya, mengandung beberapa tahapan untuk mempengaruhi decision-making process konsumen. Tahapan tersebut dinamakan marketing funnel. Begini prosesnya:
Awareness
Bagi perusahaan startup yang baru muncul, pengenalan produk kepada konsumen itu cukup krusial. Ini akan melakukan filtrasi audience. Marketing tahap ini akan menentukan, siapa saja yang akan tertarik untuk menggunakan produk.
Interest
Biasanya, calon konsumen yang masuk ke dalam golongan “interest” akan memiliki satu hingga beberapa kategori yang sama. Entah hobi, pekerjaan, dan lainnya. Ini yang harus dicari oleh perusahaan startup. Sehingga, pada kegiatan marketing selanjutnya, tahap awareness dapat dikurangi.
Consideration
Calon konsumen tentu saja tidak serta merta membeli produk hanya karena mereka “tertarik” akan produk tersebut. Calon konsumen akan melakukan penelitian kecil-kecilan tentang produk yang menarik perhatian mereka. Pastikan review produk di internet, baik. Content marketing sangat penting dalam hal ini.
Intent
Calon konsumen akan mencoba produk yang ingin mereka beli dengan gratis. Bisa dengan mencoba produk milik teman mereka, mencoba program free trial, dll. Tentunya untuk memastikan produk yang akan mereka beli itu benar-benar akan mereka pakai.
Evaluation
Menilai “value” dari produk yang akan dibeli merupakan langkah terakhir. Tidak mungkin kan, kamu membeli produk yang kamu rasa nilai nya jauh dibawah harga yang ditawarkan. Kata orang bilang “over-priced”. Biasanya, testimoni-testimoni konsumen sangat berpengaruh dalam tahap ini.
Purchase
Yap, siapa yang tidak mau produknya dibeli dan dipakai oleh konsumen? Untuk mempercepat proses ini, biasanya perusahaan mengandalkan mekanisme promo, diskon, dll. Tetapi kan tidak semua produk perusahaan startup itu bisa dibeli konsumen. Tokopedia misalnya.
Eits, siapa bilang?
Sama kok. Cuma istilah nya aja yang beda. User acquisition.
Konsumensentris
Ini yang menarik. Dewasa ini, konsumen online mulai paham tentang keamanan data privacy mereka. Sehingga, konsumen produk digital mulai berhati-hati perihal aplikasi apa yang mereka instal. Padahal, ketika perusahaan startup mengembangkan produk digital, hampir pasti memiliki mobile app andalan.
Kenapa?
Lebih canggih, katanya. Aplikasi yang bisa diinstal di hape itu keren. Sedangkan web app itu kurang dilirik. Pasalnya, web app dinilai kurang intuitif, kuno, dan report harus membuka web browser dulu. Kalau masih ada yang berpikir demikian, dan mengabaikan peningkatan awareness konsumen tentang keamanan data dan lain sebagainya, coba baca artikel SoftwareSeni yang berjudul Web App atau Mobile App?
Nah, kenapa sih pada akhirnya balik lagi ke konsumen lagi konsumen lagi. Ini yang dinamakan konsumensentris.
Kalo secara terminologi, konsumensentris merupakan cara berpikir perusahaan dengan konsumen sebagai pusat pengembangan produk / perusahaan. Dari artinya saja sudah cukup tebal ya penekanannya. Pengembangan produk dan inovasi akan berfokus pada peningkatan kepuasan konsumen.
Perusahaan startup banyak bermunculan karena dianggap mencoba mengguncang pasar dengan membawa ide solutif untuk membantu memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Dari latar belakang tersebut, apakah kamu bisa mencari subjek dari latar belakang tersebut? Yap, masyarakat. Konsumen. Kebanyakan, perusahaan startup memanfaatkan teknologi sebagai tools dalam implementasi ide pemecahan masalah.
Kecanggihan teknologi harusnya bisa meningkatkan usability konsumen / masyarakat terhadap produk. Tetapi, bagaimana jika sebaliknya? Konsumen belum siap. Apakah ide pemecahan masalah tersebut akan berhasil? Tentu tidak.
Coba kalau konsep berpikir dibalik. Cari cara paling efektif dalam memecahkan suatu masalah dalam masyarakat. Cari teknologi yang paling mudah dijangkau oleh masyarakat. Bukan yang paling canggih dan terbaru. Dan mulai dari situ.
Menurut kamu, Gojek sudah menciptakan teknologi yang luar biasa canggih?
Tidak. Uber sudah sejak lama melakukan itu.
Pemesanan makanan? Tidak. Food panda sudah ada disitu.
Tetapi, Gojek berhasil meleburkan konsumen kedalam sistem. Itu uniknya. Meleburkan antara titik temu teknologi dan konsumen. Dimana teknologi dapat secara optimal dipakai oleh konsumen.
Teknologi vs Konsumen
Jadi harus fokus kemana?
Mungkin itu sekarang yang sedang kamu pikirkan. Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, yuk bandingkan masing-masing elemen dan cari alternatif ketiga yang mungkin bisa menjadi solusi buat kamu yang sedang membangun perusahaan startup.
Inovasi
Inovasi merupakan hal penting bagi keberlangsungan suatu perusahaan. Inovasi merupakan kunci dari Business Hacks 2020 dan tahun yang akan datang. Kamu sudah pernah mengenal product life cycle? Untuk yang belum tahu, coba lihat gambar di bawah:
Menariknya, kini product life cycle terjadi semakin begitu cepat. Tiap 3 bulan smartphone baru keluar, tiap tahun ada tren baru yang bersinar. Tiap hari juga banyak perusahaan yang pusing kepayang karena capek, mengikuti kemajuan zaman. Rasanya, inovasi hanyalah satu-satunya jalan.
Lalu, apa hubungannya dengan teknologi dan konsumen?
Ada. Banget.
Teknologi dan konsumen merupakan dua elemen penting sebagai pendorong inovasi. Pasalnya, inovasi dibutuhkan selain untuk membuat bisnis tetap berjalan, dan yang jauh lebih penting adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berubah. Teknologi, digunakan sebagai media dalam melakukan value delivery dari solusi yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen.
Nah, dari segi inovasi, tiap perusahaan punya strategi nya masing-masing. Bahkan, ada banyak perhelatan pameran teknologi akbar di dunia. Salah satu yang paling besar adalah CES (Consumer Electronics Show) yang dikelola oleh Consumer Technology Association (CTA). CES fokus untuk memamerkan inovasi teknologi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu, ada juga MWC Barcelona. MWC Barcelona memamerkan inovasi produk dan services terbaik. Pameran MCW Barcelona ini menjadikan teknologi terbaru dan tercanggih dari perusahaan-perusahaan teknologi dari penjuru dunia.
Yap, dari segi inovasi, ada dua inovasi yang dilakukan. Pertama, inovasi yang berpusat pada konsumen. Kedua, inovasi yang berpusat pada teknologi. Wah, modalnya banyak banget nih. Kalau perusahaan startup harus mulai dari mana? Konsumen!
Well, Kenapa?
Inovasi yang berpusat pada teknologi, tidak bisa mendatangkan revenue dalam waktu singkat. Fungsi dari teknosentrik itu lebih kepada keberlangsungan bisnis dengan mengukuhkan posisi sebagai pemilik teknologi tercanggih di dunia. Biasanya, ini digunakan oleh perusahaan teknologi besar untuk mengukuhkan posisi sebagai “leading technology company” untuk beberapa tahun yang akan datang.
Berbeda dengan perusahaan startup. Apalagi jika perusahaan startup terbentuk karena ide untuk menyelesaikan masalah di masyarakat. Solusi harus secepatnya bisa digunakan oleh konsumen. Dan teknosentris itu bukanlah jawabannya. Selain itu, untuk bertahan hidup, perusahaan startup harus berpikir untuk dapat menerima revenue dengan stabil, selain mengandalkan investor. Bukan begitu?
Bisnis
Bisnis model apa yang ingin perusahaan startup jalankan? Industri apa yang ingin menjadi fokus perusahaan? Siapa saja kompetitor perusahaan? Itu akan menjadi pembahasan serius untuk menentukan apakah perusahaan akan menggunakan konsep teknosentris atau konsumensentris.
Jika membahas tentang bisnis, kamu tidak akan terlepas dari kata “profit”. Baik profit secara tangible, maupun intangible.
Tidak dipungkiri, benchmark yang dipakai untuk menilai suatu bisnis sehat atau tidak, salah satunya melalui elemen “profit”. Meskipun profit bukan lah satu-satunya pakem untuk menentukan suatu bisnis berhasil atau tidak, tetapi profit merupakan “impian” dari banyak shareholders.
Hayo ngaku… Eheee.
Nah, teknologi dan konsumen merupakan dua elemen penting, yang dapat menjadi referensi bisnis. Kenapa? Investasi. Yap, fokus terhadap teknologi atau konsumen akan menentukan output yang berbeda pula. Namun, jika melihat beberapa perusahaan startup yang sukses, ada satu pola yang bisa kamu pelajari. Misalnya Grab. Perusahaan Grab, merupakan perusahaan startup taxi online asal Singapore. Awalnya, produk utama Grab adalah grabtaxi. Namun, ketika Grab masuk ke Indonesia, mereka sadar jika ojek motor masih lebih diandalkan daripada taxi. Sehingga, Grab masuk ke Indonesia dengan menyesuaikan kondisi konsumen di Indonesia. Yang semula fitur grabbike tidak ada, sekarang justru merupakan salah satu fitur unggulan.
Setelah nama Grab besar di Indonesia, Grab baru mulai merambah ke kendaraan listrik yang ramah lingkungan. Grabtaxi bekerja sama dengan perusahaan otomotif asal Korea, Hyundai, bekerja sama untuk mulai menghijaukan Jakarta. Tentu implementasi mobil listrik di Indonesia masih belum terbilang ekonomis. Apalagi harga mobil listrik yang bisa dibilang relatif mahal.
Nah, dilihat dari gerak gerik bisnis Grab, pada awal masuk ke Indonesia, mereka berinvestasi pada konsumen. Bagaimana? Kustomisasi fitur pada mobile app mereka agar lebih bisa diterima konsumen Indonesia. Menambahkan fitur dalam aplikasi merupakan salah satu wujud investasi. Perlu biaya. Mulai dari developer, hingga QA perlu bekerja ekstra. Dibandingkan jika Grab hanya membawa produk asli dari Singapore ke Indonesia. Tanpa menyesuaikan kebutuhan konsumen.
Setelah nama Grab menjadi salah satu wajah perusahaan transportasi online yang cukup besar di Indonesia, Grab mulai mencoba berinvestasi ke teknologi. Mobil listrik. Scooter listrik. Dan transportasi yang ramah lingkungan. Tidak murah memang, tetapi, langkah tersebut bisa menjelaskan akan seperti apa perusahaan Grab dimasa yang akan datang.
Gimana? Kamu sudah melihat polanya?
Yep. Investasi baik ke teknologi maupun konsumen. Yang harus kamu jawab selanjutnya adalah harus mulai dari mana?
Teknologi dan Konsumen
Hybrid. Kombinasi untuk menggunakan teknosentris dan konsumensentris secara seimbang untuk memastikan solusi yang ditawarkan oleh perusahaan startup tetap kompetitif dan juga mudah dijangkau oleh konsumen. Kombinasi ini juga bervariasi. Tergantung pada strategi perusahaan. Ada yang 50:50, 60:40, dan lain sebagainya. Ha? Apa maksudnya?
Maksudnya 50:50 itu, dalam menjalankan perusahaan startup, perusahaan memusatkan fokus mereka pada 50% teknologi, dan 50% konsumen. Sehingga, teknologi bisa terus berkembang, dengan mempertimbangkan kebutuhan konsumen yang terus berubah. Contoh hebat dari implementasi hybrid ini adalah Tesla. Perusahaan milik Elon Musk ini bisa dibilang revolusioner tetapi tetap dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
Dengan mobil listrik Tesla, Elon Musk berhasil mewujudkan impian akan mobil ramah lingkungan dan super canggih. Namun, tidak serta merta kebutuhan konsumen jadi luput. Meskipun mobil Tesla merupakan mobil autonomous (mobile yang bisa berjalan tanpa pengemudi), tetap saja Tesla sadar, konsumen tidak bisa langsung menerima hal tersebut. Sehingga, Tesla masih memberikan kontrol mobil kepada konsumen, layaknya mobil pada umumnya.
Selain itu, dengan memiliki fokus terhadap teknologi dan konsumen, perusahaan startup dapat terus memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berubah dan bertambah. Dengan mengandalkan teknologi yang terus berkembang pesat, perusahaan startup dapat menciptakan produk yang relevan dengan teknologi yang sedang banyak dibutuhkan masyarakat. Sehingga, nilai daya saing perusahaan dapat terjaga. Bukan begitu?
Tapi, bagaimana jika dengan menggunakan konsep hybrid ini justru membuat perusahaan kehilangan fokus?
Oh tentu tidak. Fokuslah terhadap masalah yang ingin diselesaikan. Gunakan teknologi untuk mempermudah implementasi solusi. Pastikan kebutuhan konsumen dan masalah konsumen teratasi. Bukan begitu?
Kesimpulan Teknologi atau Konsumen
Banyaknya perusahaan startup bermunculan patut untuk didukung. Namun, ada hal yang harus menjadi perhatian. 90% perusahaan startup gagal. Alasan paling banyak yaitu tidak ada pasar dari produk yang diciptakan. Entah karena terlalu canggih, atau mungkin susah untuk digunakan. Masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
Meskipun begitu, ada dua hal yang bisa menjadi dasar dari kesuksesan implementasi ide perusahaan startup. Teknologi dan konsumen. Perusahaan startup yang memusatkan teknologi sebagai dasar pengembangan dan pengentasan masalah disebut dengan perusahaan teknosentris. Sedangkan, perusahaan startup yang berpusat kepada kebutuhan konsumen sebagai dasar pengembangan dan pengentasan masalah disebut dengan perusahaan konsumensentris.
Nah, tidak baik bagi perusahaan startup jika memiliki kecenderungan kepada satu sumbu. Entah teknologi saja, atau konsumen saja. Kenapa? Jika perusahaan startup hanya terfokus pada teknologi, mereka akan buta perihal apakah konsumen bisa menggunakan teknologi yang mereka pakai atau tidak. Begitu juga dengan perusahaan startup yang hanya fokus terhadap konsumen. Perusahaan startup akan memiliki kesulitan dalam berinovasi dan untuk tetap memiliki produk yang kompetitif.
Jika kamu merasa kesulitan untuk mengimbangkan antara teknosentris dan konsumensentris, saran SoftwareSeni adalah fokus pada konsumensentris dan biarkan pengembangan teknologi dijalankan oleh Software House Professional. Sehingga, teknologi dan konsumen dapat berjalan dengan beriringan. Bukan?